LF PBNU: Kriteria Awal Waktu Subuh di Indonesia Tak Perlu Berubah
Banyuwangi, NUOB - Lembaga Falakiyah Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) berpandangan bahwa kriteria awal waktu Subuh di
Indonesia tidak perlu berubah. Artinya tetap merujuk pada kriteria yang
dipedomani Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama RI. Pada
kriteria tersebut tinggi Matahari negatif 20º di bawah ufuk timur, atau dalam
istilah ilmu falak sebagai sudut depresi Matahari 20º.
Hal ini diputuskan setelah
melaksanakan kajian berkesinambungan dengan melibatkan para peneliti
berkompeten di bidangnya. Kriteria awal waktu Subuh dengan nilai tinggi
Matahari negatif 20º tetap digunakan karena telah memiliki landasan ilmu fiqih
dan ilmu falak yang kuat. Nilai tinggi Matahari demikian sesuai dengan tuntunan
Rasulullah SAW, para sahabat, para tabi’in, para tabi’it tabi’in, para shalafus
shalih dan para auliya. Nilai tinggi Matahari tersebut juga sesuai data hasil pengamatan
cahaya fajar shadiq terkini.
“Dengan kajian ini maka awal waktu
Subuh dan juga awal puasa di Indonesia yang selama ini kita pedomani memang
memiliki landasan yang kukuh. Baik dalam ilmu fiqih maupun ilmu falak,” jelas
Ketua LF PBNU KH Sirril Wafa dalam keterangan tertulisnya pada NU Online, Rabu
(21/4). “Bahwa dalam realitas terkini Indonesia mulai terdapat perbedaan
pendapat dalam awal waktu Subuh, itu harus kita hormati dan hargai. Perbedaan
tersebut serupa dengan perbedaan penentuan awal Ramadhan dan dua hari raya (Idul
Fitri dan Idul Adha),” imbuhnya.
Dengan hasil kajian mendalam ini maka
umat Islam di Indonesia khususnya warga Nahdlatul Ulama dapat menjalankan
ibadah shalat Subuh dan puasanya dengan lebih tenang dan nyaman. Warga
Nahdlatul Ulama agar tetap berpedoman pada jadwal waktu shalat dan jadwal
imsakiyah Ramadhan sesuai yang disusun Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama
(LFNU). “Warga Nahdlatul Ulama juga tidak perlu risau dalam menyikapi
kondisi terkini dengan mulai terjadinya perbedaan dalam mengumandangkan adzan
Subuh di Indonesia,” jelasnya. Kajian formal tentang cahaya fajar dan awal
waktu Subuh di Indonesia telah digelar Lembaga Falakiyah PBNU secara
berturut–turut dalam 8 bulan sejak Syawwal 1441 H (Juni 2020) hingga Jumadal
Akhirah 1442 H (Februari 2021).
Hasil kajian telah dilaporkan kepada
Ketua Umum PBNU melalui surat bernomor 017/LF-PBNU/IV/2021dengan tembusan
kepada jajaran Lembaga Falakiyah di tingkat PWNU/PCNU serta kepada pondok
pesantren falakiyah dan perukyah falak Nahdlatul Ulama.
Kajian ini melibatkan para peneliti
Nahdlatul Ulama di bidang ilmu falak dan ilmu fiqih yang telah menggeluti topik
cahaya fajar di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir. Beberapa di antara
peneliti ilmu falak tersebut adalah pionir dalam penelitian di bidang ini.
Sebut saja misalnya Dr Nihayatur
Rohmah, yang telah menelitinya sejak 2010 dan termasuk salah satu ahli falak
perempuan pertama di Indonesia. Beberapa peneliti juga menjadikan penelitian
cahaya fajar sebagai topik dalam menyusun karya ilmiah yang berwujud tesis
hingga disertasi dan telah dapat dipertahankan dengan baik.
Kajian cahaya fajar dan awal waktu
Subuh diselenggarakan guna menjawab pertanyaan terkait dinamika cahaya fajar
dan awal waktu Subuh di Indonesia, khususnya dari sudut pandang Nahdlatul
Ulama. Telah diketahui terbitnya cahaya fajar merupakan penanda awal waktu
Subuh. Cahaya fajar merupakan produk penyinaran matahari secara tak langsung,
dimana matahari belum terbit namun berkas cahayanya telah sampai di permukaan
bumi akibat sifat optis atmosfer bumi. Selain menandai awal waktu Subuh,
terbitnya cahaya fajar juga menjadi awal waktu puasa sebagaimana tercantum
dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 187. (NUOB)