• logo nu online
Home Warta Berita Aktual Kabar Nahdliyin Khutbah Badan Otonom Bahtsul Masail Pesantren Ulama NU Opini
Jumat, 26 April 2024

Bahtsul Masail

Akhir Ramadhan Sempatkan I'tikaf, Berikut Ketentuannya

Akhir Ramadhan Sempatkan I'tikaf, Berikut Ketentuannya
I'tikaf memiliki ketentuan yang hendaknya diperhatikan. (Foto: NUOB/JHw)
I'tikaf memiliki ketentuan yang hendaknya diperhatikan. (Foto: NUOB/JHw)

Tidak terasa, Ramadhan sudah memasuki pekan terakhir. Dan salah satu ibadah yang disarankan adalah i'tikaf di masjid. Hal tersebut sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana ketentuan i'tikaf? Berikut penjelasannya.


I’tikaf menurut pengertian bahasa berasal dari kata ‘akafa–ya’kifu–ukufan. Bila kalimat itu dikaitkan dengan kalimat “an al-amr” menjadi "akafahu an al-amr" berarti mencegah. Bila dikaitkan dengan kata "ala" menjadi "akafa ‘ala al-amr" artinya menetapi.


Pengembangan kalimat itu menjadi i’takafa-ya’takifu-i’tikafan artinya tetap tinggal pada suatu tempat. Kalimat I’takafa fi al-masjid berarti “tetap tinggal atau diam di masjid”. Menurut pengertian istilah atau terminologi, i’tikaf adalah tetap diam di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan beribadah, dzikir, bertasbih dan kegiatan terpuji lainnya serta menghindari perbuatan yang tercela.


Hukum I'tikaf

Hukum i’tikaf adalah sunah, dapat dikerjakan setiap waktu yang memungkinkan terutama pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.


 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ   الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ


Artinya: Dari Aisyah RA, istri Nabi SAW menuturkan: Sesungguhnya Nabi SAW melakukan i’tikaf pada sepu¬luh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istrinya mengerjakan i’tikaf sepeninggal beliau. (Hadis Shahih, riwayat Al-Bukhari: 1886 dan Muslim: 2006).


 عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ سَنَةً فَلَمْ   يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا


Artinya: Dari Ubay bin Ka'ab RA berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Pernah selama satu tahun beliau tidak beri’tikaf, lalu pada tahun berikutnya beliau beri’tikaf selama dua puluh hari. (Hadis Hasan, riwayat Abu Dawud: 2107, Ibn Majah: 1760, dan Ahmad: 20317).


Beri’tikaf di Luar Bulan Ramadhan

Dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA:


 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ   أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا   رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى الْأَخْبِيَةَ فَقَالَ مَا هَذَا فَأُخْبِرَ   فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَالْبِرَّ تُرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ


Dari Aisyah RA berkata: Nabi SAW biasa beri’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian aku memasang tirai untuk beliau, lalu beliau mengerjakan shalat shubuh, kemudian beliau masuk ke dalamnya. Hafsah kemudian meminta izin pada Aisyah untuk memasang tirai, lalu Aisyah mengizinkannya, maka Haf¬sahpun memasang tirai. Waktu Zainab binti Jahsyi melihatnya, ia pun memasang tirai juga. Pagi harinya Nabi SAW menjumpai banyak tirai dipasang, lalu beliau bertanya: Apakah memasang tirai-tirai itu kamu pandang sebagai suatu kebaikan? Maka beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan itu (Ramadhan itu). Kemudian beliau beri’tikaf pada sepuluh hari  dari bulan Syawal (sebagai gantinya). (Hadis Shahih, riwayat Al-Bukhari: 1892 dan Muslim: 2007).


Rukun dan Syarat I’tikaf

Rukun i’tikaf terdiri dari:

1. Niat i’tikaf, baik i’tikaf sunah atau i’tikaf nazar. Bila seorang muslim bernazar akan melakukan i’tikaf, maka baginya wajib melaksanakan nazar tersebut dan niatnya adalah niat i’tikaf untuk menunaikan nazarnya.

2. Berdiam diri dalam masjid, sebentar atau lama sesuai dengan keinginan orang yang beri’tikaf atau mu’takif. I’tikaf di masjid bisa dilakukan pada malam hari ataupun pada siang hari.


Syarat ’tikaf terdiri dari:

1. Muslim, bagi non-muslim tidak sah melakukan i’tikaf.

2 Berakal, orang yang tidak berakal tidak sah melaksanakan i’tikaf.

3 Suci dari hadats besar.

 

Yang Membatalkan I’tikaf

I’tikaf di masjid menjadi batal disebabkan oleh:


1. Bercampur dengan istri, berdasarkan firman Allah SWT:


 وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ  


Artinya: “…Dan janganlah kamu campuri mereka (istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf di masjid, itulah ketuntuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah, 2:187).


2. Keluar dari masjid tanpa uzur atau halangan yang dibolehkan syariat. Tetapi bila keluar dari masjid karena ada uzur, misalnya buang hajat atau buang air kecil dan yang serupa dengan itu, tidak membatalkan i’tikaf.

 

Artikel diambil dariTuntunan I’tikaf di Masjid

 

Diperbolehkan keluar dari masjid, karena mengantarkan keluarga ke rumah, atau untuk mengambil makanan di luar masjid, bila tidak ada yang mengantarkannya. Aisyah RA meriwayatkan:


 عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا   لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ


Artinya: Dari Aisyah RA menuturkan: Nabi SAW apabila beri’tikaf, beliau mendekatkan kepalanya kepadaku, lalu aku sisir rambutnya, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan hajat manusia (buang air besar atau buang air kecil). (Hadits Shahih, riwayat Al-Bukhari: 1889 dan Muslim: 445).


Bahtsul Masail Terbaru