Renungan Syukur Ramadhan
Banyuwangi, NUOB - Ramadhan adalah madrasah. Ruang belajar yang
harus dimasuki manusia. Ruang didik yang harus diduduki manusia. Di dalamnya,
terdapat banyak pelajaran tentang perbaikan diri; tentang pengembangan rasa,
dan tentang peluasan persepsi. Dengan menyelaminya, manusia bisa memasuki
reaktualisasi diri, yang akan menyegarkan sekaligus membarukan cara kerja
jiwanya selama ini.
Hal-hal
yang kita sepelekan atau abaikan, tiba-tiba menjadi begitu berharga di bulan
penuh berkah ini. Level apresiasi kita bertambah dan meningkat. Hanya saja,
peningkatan itu terjadi sesaat dan cenderung tidak dikenali. Setelah berbuka,
atau setelah Ramadhan berlalu, peningkatan itu akan terlupakan begitu saja,
seperti yang sudah-sudah. Untuk lebih jelas, mari kita bahas bersama.
Manusia,
pada umumnya, adalah makhluk yang mudah takjub dan heran. Akal pikirannya akan
bekerja, bertanya-tanya, dan berusaha memahami suatu peristiwa menakjubkan atau
benda aneh di depannya.
Misalnya,
ketika kita pertama kali melihat pesawat terbang, kita takjub dan heran,
seakan-akan bertanya, bagaimana mungkin benda sebesar dan seberat itu bisa
terbang; bagaimana caranya; siapa yang membuatnya, dan pertanyaan-pertanyaan
sejenis lainnya.
Namun,
ketika kita sudah sering melihatnya, ketakjuban kita perlahan-lahan memudar,
kita tidak lagi menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bahkan kita tidak
lagi mempedulikannya. Dengan demikian, ketakjuban dan daya kritis manusia bisa memudar
dengan mudah tanpa perlu mendapatkan jawaban memuaskan.
Selama
hal-hal yang ditakjubi dan diherankannya sudah menjadi kebiasaan, dia
perlahan-lahan abai akan hal itu. Begitu pun dengan puasa. Ketika kita
berpuasa, apresiasi kita terhadap hal-hal yang sering kita abaikan meningkat,
seperti terhadap air putih dan nasi misalnya. Kita yang biasanya melihat itu
“sepintas lalu” menjadi sangat berharga. Artinya, makanan dan minuman kembali
pada nilai asalnya yang berharga.
Karena
itu, puasa harus dijadikan titik ulang untuk menyemai kembali rasa syukur kita
akan segala sesuatu. Diawali dengan kebutuhan pokok (makanan dan minuman),
kemudian berlanjut ke pelbagai hal. Tapi sebelum itu, kita harus memahami
terlebih dahulu, apa itu “syukur”.
Dalam kitab Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb
al-‘Azîz, Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w. 817 H) membagi
syukur dalam tiga kategori. Dia mengatakan:
والشكر علي ثلاثة أضرب: شكر بالقلب، وهو تصور النعمة. شكر باللسان، وهو
الثناء علي المنعم. وشكر بسائر الجوارح، وهو مكافأة النعمة بقدر استحقاقه
“Syukur terdiri dari tiga tipe: (1) syukur dengan hati,
yaitu pembayangan (atau penggambaran) nikmat (dalam hati), (2) syukur dengan
lisan, yaitu pujian kepada pemberi nikmat, dan (3) syukur dengan anggota tubuh
lainnya, yaitu membalas kenikmatan dengan kadar (atau derajat) yang pantas
(didapatkan tubuh)” (Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi,
Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, Kairo: al-Majlis al-A’la
li Syu’un al-Islamiyyah, 1996, juz 3, h. 334).
Itu artinya, syukur harus dilatih dan dihadirkan. Dan puasa
adalah aktivitas pelatihan yang tepat untuk itu. Seperti yang disebutkan di
atas, dengan puasa, tanpa sadar kita mulai mengapresiasi hal-hal yang
seharusnya diapresiasi, seperti air minum, makanan dan lain sebagainya, yang
sebelumnya sering kita abaikan nilainya.
Karena itu, kita harus mulai mengambil inisiatif untuk
aktif bersyukur. Melatihnya dari yang paling ringan, bersyukur dengan hati dan
lisan, kemudian meningkat ke arah bersyukur dengan seluruh anggota badan.
Penjelasannya begini, bersyukur dengan hati adalah
aktivitas visualisasi nikmat yang kita dapatkan. Ini penting, karena
visualisasi nikmat adalah pintu masuk menuju syukur dalam wilayah praksis.
Tentu, tidak mungkin kita mampu memvisualisasi seluruh
nikmat Tuhan kepada kita, karena jumlahnya tak berhingga. Namun, aktivitas ini
menjadi penting untuk menyadarkan kita dari perasaan serba malang dan susah.
Contohnya, mungkin saja di satu sisi kita merasa susah dalam hal usaha, tapi di
sisi lain kita sukses dalam hal kesehatan, dan seterusnya.
Kemudian kita akan memasuki syukur dengan lisan, yaitu
apresiasi dalam bentuk ucapan (pujian). Bisa dengan tahmîd, tasbîh, tahlîl dan
lain sebagainya. Bersyukur dengan lisan berkaitan erat dengan bersyukur dengan
hati. Sebab, setelah melakukan proses visualisasi nikmat, kita pasti tersadar
bahwa pujian setinggi dan sebesar apapun tidak akan menyetarai segala nikmat
yang diberikan Allah kepada kita.
Di samping kemampuan kita bersyukur juga berasal dari-Nya.
Nabi Dawud ‘alaihissalam ketika mendengar firman Allah (QS. Saba’: 13):
“Bekerjalah, wahai keluarga Daud, untuk bersyukur”, dia berkata:
يا رب، كيف أشكرك، والشكر نعمة منك؟
قال: الآن شكرتني حين علمت أن النعمة مني
“Wahai Tuhan, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu, padahal
syukur adalah nikmat (pemberian)-Mu (juga)?” Allah berfirman: “Sekarang kau
telah bersyukur kepada-Ku, karena kau telah tahu bahwa nikmat itu berasal
dari-Ku” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Kairo: al-Faruq
al-Haditshah li al-Thiba’aj wa al-Nasyr, 2000, juz 11, h. 267).
Perasaan “tahu” atas ketidakmampuan mensyukuri seluruh
nikmat Allah sangat penting dimiliki manusia. Karena dapat mendorong
keistiqamahan dalam bersyukur. Orang yang mengetahui dan menyadari hal ini akan
malu jika berhenti, atau akan terus berusaha untuk terhindar dari kelalaian
bersyukur kepada-Nya. Karena ia tahu, seberapa sering dan banyak syukurnya,
tidak mungkin menyetarai nikmat yang diterimanya. Untuk lebih mendalami soal
ini, bisa dibaca di artikel NU Online lainnya, “Ketika Nabi Dawud Bingung Cara
Bersyukur kepada Allah.”
Berikutnya adalah syukur dengan anggota tubuh lainnya,
yaitu membalas nikmat dengan perbuatan dan derajat yang pantas didapatkan
tubuh. Maksudnya adalah, memenuhi hak-hak tubuh, baik jasmani maupun ruhani.
Hak-hak jasmani seperti menjaga kesehatan, memenuhinya dengan nutrisi, gizi,
makanan halal, dan lain sebagainya. Hak-hak ruhani seperti menjaga mata,
telinga, lidah, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya dari hal-hal buruk, dan
mengarahkannya untuk melihat, mendengar, melakukan, dan berjalan kepada
kebaikan, pengetahuan dan keberkahan. Karena itu, Sayyidina Muhammad bin
Ka’b al-Qurdhi (w. 108 H) mengatakan:
الشكر تقوى الله والعمل الصالح
“Syukur adalah
bertakwa kepada Allah dan (melakukan) amal saleh” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Adhîm, juz 11, h. 266). Bertakwa menjauhi larangan-Nya,
mengerjakan perintah-Nya, dan beramal saleh karena-Nya, merupakan bentuk syukur
kepada Allah. Dengan kata lain, anugerah Allah berupa seluruh anggota tubuh,
dimanfaatkan dan digunakan sesuai dengan kehendak-Nya, yaitu kebaikan dan tidak
berbuat kerusakan.
Maka dari itu, bulan Ramadhan merupakan saat terbaik untuk
menghadirkan “syukur” secara nyata, merasai dan melekatkannya dalam kehidupan
kita. Karena pada dasarnya, jika penjiwaan syukur telah tertanam, segala hal
akan dikerjakan sebagai ungkapan syukur atas nikmat-nikmat-Nya, seperti
perintah Allah kepada keluarga Dawud (QS. Saba’: 13): “bekerjalah, wahai
keluarga Dawud, untuk bersyukur.” Pertanyaannya, siapkah kita memulainya?
Wallahu a’lam bish-shawwab.....
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus,
Kritig, Petanahan, Kebumen