• logo nu online
Home Warta Berita Aktual Kabar Nahdliyin Khutbah Badan Otonom Bahtsul Masail Pesantren Ulama NU Opini
Jumat, 19 April 2024

Ulama NU

Biografi Nabi Muhammad: Istri-istri dan Putra-Putri Nabi (Bagian III)

Biografi Nabi Muhammad: Istri-istri dan Putra-Putri Nabi (Bagian III)

Berbeda dengan umat Islam yang dibatasi hanya boleh beristri empat sekali waktu—dengan syarat adil, Nabi Muhammad diberi kekhususan oleh Allah untuk beristri lebih dari itu. Dijelaskan Ibnu Hazm al-Andalausi dalam Intisari Sirah Nawabiyah (2018), Sayyidah Khadijah binti Khuwailid adalah istri pertama Nabi Muhammad. Sayyidah Khadijah wafat tiga tahun sebelum hijrah dan Nabi Muhammad tidak menikahi wanita lainnya hingga istrinya yang pertama itu wafat.

Ketika Sayyidah Khadijah wafat, Nabi Muhammad menikahi Saudah binti Zam’ah pada tahun kesepuluh kenabian atau tiga tahun sebelum hijrah. Sebetulnya 'rencana' dan usulan perkawinan Nabi dan Saudah tidak datang dari beliau sendiri, melainkan dari Khaulah binti Hakim, sahabat Sayyidah Khadijah. Khaulah merasa prihatin dengan Nabi Muhammad yang hidup sendiri setelah ditinggal wafat Khadijah. 

Dalam Bilik-bilik Cinta Muhammad (2018) Nizar Abazhah menjelaskan bahwa dengan menikahi Saudah—yang saat itu berusia 50 tahun, Nabi Muhammad ingin meringankan penderitaannya, meningkatkan derajatnya, dan menjaganya dari fitnah dari kaum musyrik Makkah. Saat itu status Saudah adalah janda dari Sakran bin Amr bin Abd Syam. Sakran meninggal dalam saat hijrah di Habasyah. Saudah memiliki lima atau enam orang anaknya hasil perkawinannya dengan Sakran. Nabi kemudian menikahi Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq pada bulan Syawwal tahun kesepuluh kenabian di Makkah—namun baru tinggal serumah pada tahun ke-13 kenabian atau 1 Hijriah. Mahar yang diberikan Nabi Muhammad untuk Aisyah sebesar 12 uqiyyah atau 400 dirham. Aisyah adalah satu-satunya istri yang dinikahi Nabi Muhammad dengan status lajang—sementara yang lainnya janda. Dalam sebuah riwayat, Aisyah pernah mengungkapkan bahwa alasan Rasulullah menikahinya adalah 'karena mimpi.' Suatu ketika, Rasulullah bermimpi didatangi malaikat membawa Aisyah dengan dibalut kain sutera. Malaikat tersebut mengatakan kepada Rasulullah bahwa perempuan yang dibalut kain sutera tersebut adalah istrinya. Mimpi Rasulullah ini berulang hingga tiga kali. Aisyah hidup bersama Nabi selama 9 tahun 5 bulan. Ia wafat pada 58 H.

Pada tahun ke-3 H, Nabi Muhammad menikah dengan Hafshah binti Umar bin Khattab—yang berumur 21 tahun. Ketika itu, Sayyidah Hafshah berusia 21 tahun—riwayat lain 18 dan 20 tahun- dan berstatus sebagai janda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi. Dalam Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah dalam, 2018) dan Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW (M Quraish Shihab, 2018) disebutkan bahwa alasan Nabi Muhammad menikahi Sayyidah Hafshah adalah untuk memperhatikan keluarga sahabatnya, baik Umar bin Khattab maupun Khunais bi Hudzafah yang gugur di medan perang.

Nabi Muhammad lalu mempersunting Sayyidah Zainab binti Khuzaimah—janda dari Abdullah bin Jahsy al-Asadi, riwayat lain Ubaidah bin al-Harits- pada tahun ketiga Hijriah. Pada saat dinikahi Nabi, Zainab binti Khuzaumah berusia 29 tahun. Zainab wafat pada saat Nabi masih hidup, setelah berkumpul dengannya selama dua bulan. Nabi juga menikah dengan Sayyidah Ummu Salamah (namanya aslinya Hindun) binti Abu Umayyah (namanya aslinya Hudzaifah) bin al-Mughirah—yang saat itu berusia 34 tahun. Suami Ummu Salamah sebelumnya, Abu Salamah, meninggal dunia pada tahun kedua Hijriyah akibat luka parah setelah ikut dalam Perang Uhud. Keadaan Ummu Salamah yang janda dan memiliki banyak anak membuat Nabi 'berkeinginan' untuk menikahinya. Ada yang mengatakan bahwa Rasulullah melamar Sayyidah Ummu Salamah karena beliau hendak memberi imbal jasa atas perjuangannya di jalan Allah. Ada yang menyebut untuk menghibur hatinya setelah suaminya gugur. Dan, ada juga yang berpendapat kalau itu dilakukan untuk menjaga kemuliaan dan keagungan Sayyidah Ummu Salamah.

Terlepas dari itu semua, Ummu Salamah adalah istri Nabi yang wafatnya paling akhir, yaitu pada tahun 59 H.  Pada tahun keempat H, Nabi Muhammad menikahi Sayyidah Zainab binti Jahsy—yang saat itu berusia 35 tahun. Alasan Nabi menikahi Zainab binti Jahsy adalah karena perintah Allah. Suami Zainab sebelum Nabi Muhammad adalah Zaid bin Haritsah—budak yang kemudian diangkat menjadi anak angkat Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. 

Nabi Muhammad kemudian menikahi Sayyidah Juwairiyah binti al-Harits—yang saat itu berusia 21 tahun. Sebelum dengan Nabi, Juwairiyah menikah dengan Abdullah bin Jahsy al-Asadi. Dia wafat pada tahun 56 H dan dishalatkan oleh Marwan.

Nabi kemudian menikah dengan Sayyidah Ummu Habibah (nama aslinya Ramlah) binti Abu Sufyan setelah Perjanjian Hudaibiyah—yang saat itu berusia 37 tahun—pada tahun ketujuh Hijiriah. Sebelumnya, dia bersuamikan Ubaidillah bin Jahsy al-Asadi yang murtad dan kemudian memeluk Nasrani. Ummu Habibah wafat pada 44 H, atau masa kekhalifahan saudaranya, Muawiyah.

Pada tahun yang sama, Nabi juga menikahi Sayyidah Shafiyyah binti Huyay—seorang pemimpin Yahudi di distrik Khaibar. Jika dirunut ke atas maka garis nasabnya sampai kepada Nabi Harun bin Imran, saudara Nabi Musa. Shafiyyah pernah menikah dengan tokoh Yahudi dari Bani Quraizhah, Salam bin Misykam namun perkawinannya ini tidak berlangsung lama. Usia Shafiyyah 17 tahun saat dinikahi Nabi.   

Sayyidah Shafiyyah wafat pada tahun ke-50 H, atau pada masa pemerintahan Muawiyah. Dia dimakamkan di Baqi’, Madinah. Selama hidupnya, Sayyidah Shafiyyah menyampaikan sepuluh hadits Nabi, satu di antaranya diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Pada tahun 7 H, Nabi juga menikahi Mariyah al-Qibthiyah. Dia adalah hadiah dari Muqawqis setelah Nabi menyeru agar penguasa Mesir itu memeluk Islam. Nabi Muhammad membuatkan rumah untuk Sayyidah Mariyah di ujung timur Madinah. Ada sebuah dua bilik dan loteng terbuka di atas rumah tersebut. Nabi Muhammad duduk-duduk di situ kala musim panas. Riwayat lain dia dititipkan di rumah sahabat Harits bin Nu’man. Terakhir, Nabi menikah dengan Sayyidah Maimunah binti al-Harits—yang saat itu berusia 25 tahun. Semula, namanya adalah Barrah. Nabi Muhammad menggantinya dengan Maimunah—yang bermakna impian, harapan, keberkahan- setelah menikahinya.  

Sayyidah Maimunah pernah menikah dengan Mas’ud bin Amr al-Tsaqafi sebelum memeluk Islam. Mereka kemudian bercerai karena suatu alasan. Lalu, Maimunah menikah lagi dengan Abu Rahm bin Abdul Uzza dari Bani Amir bin Lu’ay. Dalam waktu beberapa lama, Mainumah kembali hidup menjanda setelah suaminya yang kedua, Rahn, wafat.   Quraish Shihab mengungkapkan salah satu motif Nabi menikahi Maimunah binti al-Harits adalah untuk memperkuat hubungan dengan suku-suku lain di Makkah. Karena, saudari-saudari sekandung Sayyidah Maimunah menikah dengan pembesar Makkah. Lubabah al-Kubra, istri Abbas bin Abdul Muthalib; dan Lubabah as-Shugra, istri al-Walid bin Mughirah dan ibu Khalid bin Walid, merupakan saudari Sayyidah Maimunah.  

Diriwayatkan bahwa maskawin Nabi Muhammad untuk setiap istrinya adalah 500 dirhan. Sementara nafkah yang diberikan Nabi untuk istri-istrinya setiap tahunnya adalah sebanyak 20 wasaq gandum dan 80 wasaq kurma. Putra-Putri Nabi Muhammad Nabi Muhammad memiliki 7 orang anak; 3 laki-laki dan 4 perempuan. Seluruh anak Nabi, baik laki-laki maupun perempuan, berasal dari hasil pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah, kecuali Ibrahim yang dilahirkan oleh Sayyidah Mariyah al-Qibthiyah. Dijelaskan Ibnu Hazm dan Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, berikut penjelasan singkat mengenai putra-putri Nabi: Pertama, Sayyidina al-Qasim. Dia lahir sebelum beliau diangkat menjadi Nabi. Karena Qasim adalah anak tertua, maka Nabi diberi julukan Abu Qasim. Dia hanya hidup selama beberapa hari saja.  

Kedua, Sayyidah Zainab. Dia adalah putri tertua Nabi yang lahir pada tahun ke-30 dari kelahiran Nabi Muhammad. Dia menikah dengan Abu al-Ash bin ar-Rabi. Dari pernikahannya itu lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Ali (meninggal saat usia remaja) dan Umamah—yang nanti dinikahi Sayyidina Ali bin Abi Thalib setelah Sayyidah Fathimah wafat. Zainab wafat pada 8 H. 

Ketiga, Sayyidah Ruqayyah. Dia lahir pada tahun ke-33 dari kelahiran Nabi Muhammad. Ruqayyah dinikahi oleh Ustman bin Affan. Dia tidak memiliki suami lagi selain Utsman. Dari Utsman, dia memiliki seorang anak bernama Abdullah—yang meninggal di usia empat tahun. Tercatat, dia ikut hijrah sebanyak dua kali. Ruqayyah wafat ketika ketika Nabi berada di dalam Perang Badar—riwayat lain tiga hari setelah Perang Badar. Keempat, Sayyidah Ummu Kultsum. Dia dinikahi oleh Utbah bin Abu Lahab, namun kemudian diceraikan sebelum disentuhnya. Ia kemudian dinikahi Utsman bin Affan pada tahun 3 H, yang sebelumnya ditinggal wafat istrinya, Ruqayyah—yang notabennya kakak Ummu Kultsum sendiri. Ummu Kultsum tidak memiliki keturunan dan wafat pada tahun 9 H.  

 Kelima, Sayyidah Fathimah az-Zahra. Ia dilahirkan lima tahun sebelum Nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama. Dia menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib pada tahun 2 H. Dengan Ali, Fathimah memiliki beberapa anak; Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dan Muhassin—yang meninggal saat masih kecil. Fathimah adalah orang yang paling dicintai Nabi. Dia wafat enam bulan setelah Nabi wafat.  Keenam, Sayyidina Abdullah. Dia lahir setelah ayahnya diangkat menjadi Nabi. Ia lahir di Makkah dan wafat saat usianya masih kecil. Diriwayatkan kalau Abdullah juga disebut dengan nama at-Thayyib dan ath-Thahir karena lahir pada masa kenabian.  Ketujuh, Sayyidina Ibrahim. Berbeda dengan anak-anak Nabi sebelumnya yang lahir dari Rahim Sayyidah Khadijah, Ibrahim lahir dari Mariyah al-Qibthiyah. Dia lahir di Madinah pada bulan Dzul Hijjah tahun 8 H. Ia wafat di Madinah ketika usianya baru 17 atau 18 bulan—tahun 10 H—dan dimakamkan di kuburan Baqi’.   Demikian tulisan Biografi Nabi Muhammad kali ini, yang menjelaskan tentang istri-istri dan putra-putri Nabi Muhammad.


Editor:

Ulama NU Terbaru