Biografi Nabi Muhammad: Istri-istri dan Putra-Putri Nabi (Bagian III)
Berbeda dengan umat
Islam yang dibatasi hanya boleh beristri empat sekali waktu—dengan syarat adil,
Nabi Muhammad diberi kekhususan oleh Allah untuk beristri lebih dari itu.
Dijelaskan Ibnu Hazm al-Andalausi dalam Intisari Sirah Nawabiyah (2018), Sayyidah
Khadijah binti Khuwailid adalah istri pertama Nabi Muhammad. Sayyidah
Khadijah wafat tiga tahun sebelum hijrah dan Nabi Muhammad tidak menikahi
wanita lainnya hingga istrinya yang pertama itu wafat.
Ketika Sayyidah
Khadijah wafat, Nabi Muhammad menikahi Saudah binti Zam’ah pada tahun kesepuluh
kenabian atau tiga tahun sebelum hijrah. Sebetulnya 'rencana' dan usulan
perkawinan Nabi dan Saudah tidak datang dari beliau sendiri, melainkan dari
Khaulah binti Hakim, sahabat Sayyidah Khadijah. Khaulah merasa prihatin dengan
Nabi Muhammad yang hidup sendiri setelah ditinggal wafat Khadijah.
Dalam Bilik-bilik
Cinta Muhammad (2018) Nizar Abazhah menjelaskan bahwa dengan menikahi
Saudah—yang saat itu berusia 50 tahun, Nabi Muhammad ingin meringankan
penderitaannya, meningkatkan derajatnya, dan menjaganya dari fitnah dari kaum
musyrik Makkah. Saat itu status Saudah adalah janda dari Sakran bin Amr bin Abd
Syam. Sakran meninggal dalam saat hijrah di Habasyah. Saudah memiliki lima atau
enam orang anaknya hasil perkawinannya dengan Sakran. Nabi kemudian menikahi
Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq pada bulan Syawwal tahun
kesepuluh kenabian di Makkah—namun baru tinggal serumah pada tahun ke-13
kenabian atau 1 Hijriah. Mahar yang diberikan Nabi Muhammad untuk Aisyah sebesar
12 uqiyyah atau 400 dirham. Aisyah adalah satu-satunya istri yang dinikahi Nabi
Muhammad dengan status lajang—sementara yang lainnya janda. Dalam sebuah
riwayat, Aisyah pernah mengungkapkan bahwa alasan Rasulullah menikahinya adalah
'karena mimpi.' Suatu ketika, Rasulullah bermimpi didatangi malaikat membawa
Aisyah dengan dibalut kain sutera. Malaikat tersebut mengatakan kepada
Rasulullah bahwa perempuan yang dibalut kain sutera tersebut adalah istrinya.
Mimpi Rasulullah ini berulang hingga tiga kali. Aisyah hidup bersama Nabi
selama 9 tahun 5 bulan. Ia wafat pada 58 H.
Pada tahun ke-3 H,
Nabi Muhammad menikah dengan Hafshah binti Umar bin Khattab—yang berumur 21
tahun. Ketika itu, Sayyidah Hafshah berusia 21 tahun—riwayat lain 18 dan 20
tahun- dan berstatus sebagai janda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi. Dalam
Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah dalam, 2018) dan Membaca Sirah Nabi
Muhammad SAW (M Quraish Shihab, 2018) disebutkan bahwa alasan Nabi Muhammad menikahi
Sayyidah Hafshah adalah untuk memperhatikan keluarga sahabatnya, baik Umar bin
Khattab maupun Khunais bi Hudzafah yang gugur di medan perang.
Nabi Muhammad lalu
mempersunting Sayyidah Zainab binti Khuzaimah—janda dari Abdullah bin Jahsy
al-Asadi, riwayat lain Ubaidah bin al-Harits- pada tahun ketiga Hijriah. Pada
saat dinikahi Nabi, Zainab binti Khuzaumah berusia 29 tahun. Zainab wafat pada
saat Nabi masih hidup, setelah berkumpul dengannya selama dua bulan. Nabi juga
menikah dengan Sayyidah Ummu Salamah (namanya aslinya Hindun) binti Abu Umayyah
(namanya aslinya Hudzaifah) bin al-Mughirah—yang saat itu berusia 34 tahun.
Suami Ummu Salamah sebelumnya, Abu Salamah, meninggal dunia pada tahun kedua
Hijriyah akibat luka parah setelah ikut dalam Perang Uhud. Keadaan Ummu Salamah
yang janda dan memiliki banyak anak membuat Nabi 'berkeinginan' untuk
menikahinya. Ada yang mengatakan bahwa Rasulullah melamar Sayyidah Ummu
Salamah karena beliau hendak memberi imbal jasa atas perjuangannya di jalan
Allah. Ada yang menyebut untuk menghibur hatinya setelah suaminya gugur. Dan,
ada juga yang berpendapat kalau itu dilakukan untuk menjaga kemuliaan dan
keagungan Sayyidah Ummu Salamah.
Terlepas dari itu
semua, Ummu Salamah adalah istri Nabi yang wafatnya paling akhir, yaitu pada
tahun 59 H. Pada tahun keempat H, Nabi Muhammad menikahi Sayyidah Zainab
binti Jahsy—yang saat itu berusia 35 tahun. Alasan Nabi menikahi Zainab binti
Jahsy adalah karena perintah Allah. Suami Zainab sebelum Nabi Muhammad adalah
Zaid bin Haritsah—budak yang kemudian diangkat menjadi anak angkat Nabi. Dia
wafat pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.
Nabi Muhammad
kemudian menikahi Sayyidah Juwairiyah binti al-Harits—yang saat itu berusia 21
tahun. Sebelum dengan Nabi, Juwairiyah menikah dengan Abdullah bin Jahsy al-Asadi.
Dia wafat pada tahun 56 H dan dishalatkan oleh Marwan.
Nabi kemudian menikah
dengan Sayyidah Ummu Habibah (nama aslinya Ramlah) binti Abu Sufyan setelah
Perjanjian Hudaibiyah—yang saat itu berusia 37 tahun—pada tahun ketujuh
Hijiriah. Sebelumnya, dia bersuamikan Ubaidillah bin Jahsy al-Asadi yang murtad
dan kemudian memeluk Nasrani. Ummu Habibah wafat pada 44 H, atau masa
kekhalifahan saudaranya, Muawiyah.
Pada tahun yang sama,
Nabi juga menikahi Sayyidah Shafiyyah binti Huyay—seorang pemimpin Yahudi di
distrik Khaibar. Jika dirunut ke atas maka garis nasabnya sampai kepada Nabi
Harun bin Imran, saudara Nabi Musa. Shafiyyah pernah menikah dengan tokoh
Yahudi dari Bani Quraizhah, Salam bin Misykam namun perkawinannya ini tidak
berlangsung lama. Usia Shafiyyah 17 tahun saat dinikahi Nabi.
Sayyidah Shafiyyah
wafat pada tahun ke-50 H, atau pada masa pemerintahan Muawiyah. Dia dimakamkan
di Baqi’, Madinah. Selama hidupnya, Sayyidah Shafiyyah menyampaikan sepuluh
hadits Nabi, satu di antaranya diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Pada tahun 7 H,
Nabi juga menikahi Mariyah al-Qibthiyah. Dia adalah hadiah dari Muqawqis
setelah Nabi menyeru agar penguasa Mesir itu memeluk Islam. Nabi Muhammad
membuatkan rumah untuk Sayyidah Mariyah di ujung timur Madinah. Ada sebuah dua
bilik dan loteng terbuka di atas rumah tersebut. Nabi Muhammad duduk-duduk di
situ kala musim panas. Riwayat lain dia dititipkan di rumah sahabat Harits bin
Nu’man. Terakhir, Nabi menikah dengan Sayyidah Maimunah binti al-Harits—yang
saat itu berusia 25 tahun. Semula, namanya adalah Barrah. Nabi Muhammad
menggantinya dengan Maimunah—yang bermakna impian, harapan, keberkahan- setelah
menikahinya.
Sayyidah Maimunah
pernah menikah dengan Mas’ud bin Amr al-Tsaqafi sebelum memeluk Islam. Mereka
kemudian bercerai karena suatu alasan. Lalu, Maimunah menikah lagi dengan Abu
Rahm bin Abdul Uzza dari Bani Amir bin Lu’ay. Dalam waktu beberapa lama,
Mainumah kembali hidup menjanda setelah suaminya yang kedua, Rahn, wafat.
Quraish Shihab mengungkapkan salah satu motif Nabi menikahi Maimunah
binti al-Harits adalah untuk memperkuat hubungan dengan suku-suku lain di
Makkah. Karena, saudari-saudari sekandung Sayyidah Maimunah menikah dengan
pembesar Makkah. Lubabah al-Kubra, istri Abbas bin Abdul Muthalib; dan Lubabah
as-Shugra, istri al-Walid bin Mughirah dan ibu Khalid bin Walid, merupakan
saudari Sayyidah Maimunah.
Diriwayatkan bahwa
maskawin Nabi Muhammad untuk setiap istrinya adalah 500 dirhan. Sementara
nafkah yang diberikan Nabi untuk istri-istrinya setiap tahunnya adalah sebanyak
20 wasaq gandum dan 80 wasaq kurma. Putra-Putri Nabi Muhammad Nabi Muhammad
memiliki 7 orang anak; 3 laki-laki dan 4 perempuan. Seluruh anak Nabi, baik
laki-laki maupun perempuan, berasal dari hasil pernikahannya dengan Sayyidah
Khadijah, kecuali Ibrahim yang dilahirkan oleh Sayyidah Mariyah al-Qibthiyah.
Dijelaskan Ibnu Hazm dan Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, berikut
penjelasan singkat mengenai putra-putri Nabi: Pertama, Sayyidina al-Qasim. Dia
lahir sebelum beliau diangkat menjadi Nabi. Karena Qasim adalah anak tertua,
maka Nabi diberi julukan Abu Qasim. Dia hanya hidup selama beberapa hari saja.
Kedua, Sayyidah
Zainab. Dia adalah putri tertua Nabi yang lahir pada tahun ke-30 dari kelahiran
Nabi Muhammad. Dia menikah dengan Abu al-Ash bin ar-Rabi. Dari pernikahannya
itu lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Ali (meninggal saat usia
remaja) dan Umamah—yang nanti dinikahi Sayyidina Ali bin Abi Thalib setelah
Sayyidah Fathimah wafat. Zainab wafat pada 8 H.
Ketiga, Sayyidah
Ruqayyah. Dia lahir pada tahun ke-33 dari kelahiran Nabi Muhammad. Ruqayyah
dinikahi oleh Ustman bin Affan. Dia tidak memiliki suami lagi selain Utsman.
Dari Utsman, dia memiliki seorang anak bernama Abdullah—yang meninggal di usia
empat tahun. Tercatat, dia ikut hijrah sebanyak dua kali. Ruqayyah wafat ketika
ketika Nabi berada di dalam Perang Badar—riwayat lain tiga hari setelah Perang
Badar. Keempat, Sayyidah Ummu Kultsum. Dia dinikahi oleh Utbah bin Abu Lahab,
namun kemudian diceraikan sebelum disentuhnya. Ia kemudian dinikahi Utsman bin
Affan pada tahun 3 H, yang sebelumnya ditinggal wafat istrinya, Ruqayyah—yang
notabennya kakak Ummu Kultsum sendiri. Ummu Kultsum tidak memiliki keturunan
dan wafat pada tahun 9 H.
Kelima, Sayyidah Fathimah az-Zahra. Ia dilahirkan
lima tahun sebelum Nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama. Dia menikah
dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib pada tahun 2 H. Dengan Ali, Fathimah
memiliki beberapa anak; Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dan Muhassin—yang
meninggal saat masih kecil. Fathimah adalah orang yang paling dicintai Nabi.
Dia wafat enam bulan setelah Nabi wafat. Keenam, Sayyidina Abdullah. Dia
lahir setelah ayahnya diangkat menjadi Nabi. Ia lahir di Makkah dan wafat saat
usianya masih kecil. Diriwayatkan kalau Abdullah juga disebut dengan nama
at-Thayyib dan ath-Thahir karena lahir pada masa kenabian. Ketujuh,
Sayyidina Ibrahim. Berbeda dengan anak-anak Nabi sebelumnya yang lahir dari
Rahim Sayyidah Khadijah, Ibrahim lahir dari Mariyah al-Qibthiyah. Dia lahir di
Madinah pada bulan Dzul Hijjah tahun 8 H. Ia wafat di Madinah ketika usianya
baru 17 atau 18 bulan—tahun 10 H—dan dimakamkan di kuburan Baqi’.
Demikian tulisan Biografi Nabi Muhammad kali ini, yang menjelaskan
tentang istri-istri dan putra-putri Nabi Muhammad.