Biografi Nabi Muhammad: Pernikahan dengan Sayyidah Khadijah hingga Hijrah ke Madinah (Bagian II)
Nabi Muhammad menikah
dengan Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ketika berusia 25 tahun—sementara
Sayyidah Khadijah berumur 40 tahun. Keduanya mengarungi bahtera rumah tangga
selama kurang lebih 25 tahun, hingga Sayyidah Khadijah wafat. Dalam rentang
waktu itu, Nabi Muhammad berumah tangga secara monogami—hanya dengan Sayyidah
Khadijah saja dan tidak menikah dengan wanita lainnya.
Sebelum dipersunting
Nabi, Sayyidah Khadijah sudah pernah menikah dua kali. Pertama, dengan Atiq bin
Abid dan memiliki seorang putra bernama Abdullah. Kedua, dengan Abu Halah
(Hind) bin Zurarah dan memiliki tiga orang anak, yaitu Hind, al-Harits, dan
Zainab. Setelah suami pertama meninggal, Sayyidah Khadijah baru menikah dengan
suaminya yang kedua.
Begitu pun ketika
menikah dengan Nabi Muhammad. Sebagai seorang saudagar kaya dan terhormat—meskipun
sudah pernah menikah dua kali, Sayyidah Khadijah disenangi banyak laki-laki.
Banyak pria yang berminat untuk mempersuntingya. Namun, pilihan Sayyidah
Khadijah malah jatuh kepada Nabi Muhammad. Seorang pemuda yang secara harta
tidak kaya-kaya amat.
Dalam buku Membaca
Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (M Quraish
Shihab, 2018) disebutkan bahwa Sayyidah Khadijah memilih Nabi Muhammad untuk
menjadi suaminya karena dia menilai bahwa Nabi Muhammad adalah sosok manusia
yang sempurna kepribadiannya, baik sifat lahir maupun sifat batinnya. Bukan
karena penampilannya secara sepintas.
Menerima wahyu
pertama Nabi Muhammad saw pertama kali menerima wahyu ketika usianya 40 tahun.
Saat itu, beliau yang sedang berkhalwat atau bertahannus di Gua Hira menerima
wahyu yang pertama, yaitu Al-Qur’an Surat al-Alaq ayat 1-5, dari malaikat
Jibril pada malam ke-17 Ramadhan atau bertepatan dengan 6 Agustus 610 M.
Peristiwa itu sekaligus menjadi tanda bahwa beliau sudah diangkat menjadi Nabi
dan Rasul Allah. Setelah kejadian itu, Nabi Muhammad langsung pulang ke rumah
dengan keadaan takut dan gemetaran. Beliau menceritakan yang dialaminya kepada
sang istri, Sayyidah Khadijah. Dia kemudian mengajak Nabi untuk menemui pamannya,
Waraqah bin Naufal—seorang penganut agama Nasrani yang mengenal Injil.
Dengan segala
pengetahuannya, Waraqah membeberkan kalau lelaki yang datang kepada Nabi
Muhammad di Gua Hira adalah an-Namus (Jibril), sama seperti yang datang kepada
Musa dahulu. Waraqah juga memperingatkan kalau nantinya Nabi Muhammad akan
didustakan, diganggu, diusir, dan diperangi oleh kaumnya sendiri. Setelah itu,
Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril secara bertahap
selama 23 tahun, hingga beliau wafat. Tidak hanya ayat-ayat Al-Qur’an, wahyu
yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad juga berupa hadits-hadits qudsi.
Mendakwahkan Islam di Makkah Apa yang dikatakan
Waraqah benar terjadi di kemudian hari. Pada saat awal-awal mendakwahkan Islam
di Makkah, Nabi Muhammad mengalami gangguan, tentangan, pendustaan, pengusiran,
dan bahkan upaya pembunuhan. Semula Nabi Muhammad mendakwahkan Islam secara
diam-diam. Ia mengajak keluarga dan saudara-saudaranya untuk memeluk Islam.
Namun kemudian Allah menurunkan QS Al-Hijr ayat 94 dan meminta Nabi Muhammad
untuk mendakwahkan Islam secara terang-terangan kepada masyarakat Makkah secara
luas. "Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik."
(Al-Hijr: 94)
Nabi Muhammad menyebarkan agama Islam di Makkah
selama 13 tahun. Namun hanya sedikit orang saja—sebagian besar dari kalangan
bawah—yang menerima seruan Nabi. Sebagian besar penduduk Makkah menolak dan
menentang agama baru tersebut. Dalam buku Para Penentang Nabi Muhammad (Misran
dan Armansyah, 2018) disebutkan, setidaknya ada lima motif mengapa masyarakat
Makkah menolak dakwah Nabi. Yaitu pengaruh dan kekuasaan; ekonomi dan status
sosial; setia dengan agama nenek moyang; iri, dengki, dan angkuh; serta tidak
percaya ajaran Islam. Selama mendakwahkan Islam di Makkah, ada dua sisi
kepercayaan yang menjadi titik berat Rasulullah. Pertama, kepercayaan tentang
keesaan Allah. Karena pada saat itu, masyarakat Arab dijangkiti 'penyakit
syirik.' Mereka tidak lagi menyembah Allah Yang Satu sebagaimana yang diajarkan
nabi dan rasul terdahul, akan tetapi mereka menyembah banyak berhala. Kedua,
kepercayaan hari akhirat. Selama di Makkah, materi lain yang ditekankan
Rasulullah adalah soal hari kiamat, kebangkitan manusia setelah kematian, dan
hisab (pertanggungjawaban amal selama hidup di dunia).
Hijrah ke Madinah Setelah mendapatkan tekanan yang
begitu hebat dari kafir Quraisy Makkah, Nabi Muhammad akhirnya mendapatkan
perintah dari Allah untuk berhijrah (bermigrasi) ke Madinah. Bahkan Allah
melalui malaikat Jibril juga sudah menentukan waktu Nabi Muhammad berhijrah ke
Madinah. Yaitu tanggal 2 Rabi’ul Awwal tahun ke-13 kenabian atau bertepatan
dengan 20 Juli 622 M pada malam hari setelah lewat dua pertiga malam—di saat
para elite kaum kafir Quraisy yang mengepung rumah Nabi Muhammad untuk
menghabisinya lengah. Hijrah bukan hanya untuk menghindari ancaman dan
penindasan dari kaum kafir, tetapi juga menyelamatkan dan menyebarkan Islam di
wilayah Arab lainnya.
Perjalanan Nabi
Muhammad dari Makkah ke Madinah begitu berat. Di samping jaraknya yang cukup
jauh—sekitar 450 kilometer, para musuh juga terus memburu Nabi Muhammad bahkan
hingga beliau meninggalkan Makkah. Mereka tidak rela Nabi Muhammad mendakwahkan
agamanya di tempat lain. Bagi mereka, api dakwah Islam harus dipadamkan.
Apapun caranya,
termasuk membunuh Nabi Muhammad. Pada saat hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad
ditemani oleh Abu Bakar as-Shiddiq. Sementara umat Islam lainnya sudah lebih
dahulu berangkan ke Madinah. Untuk mengelabui musuh, Abu Bakar menugaskan
budaknya yang bernama Amir bin Fuhayra untuk menghapus jejaknya dan Nabi
Muhammad.
Sementara Abdullah
bin Arqat—yang waktu itu belum masuk Islam- ditugaskan sebagai penunjuk jalan.
Dipilihnya Madinah sebagai tempat berhijrah juga tidak lepas dari beberapa
penduduk Madinah yang sudah berbaiat kepada Rasulullah, dalam Baiat Aqabah
pertama dan kedua. Tentu itu menjadi modal bagus bagi Rasulullah dan umat
Islam. Namun selain dua hal itu, mungkin saja ada hal-hal lainnya yang
menyebabkan mengapa Madinah yang dipilih sebagai tempat berhijrah. Dalam
buku Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-hadits
Shahih (2018), M Quraish Shihab menyebutkan bahwa dipilihnya Madinah sebagai
tempat hijrah karena kota tersebut memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan
dengan kota lainnya.
Pertama,
penduduknya—Suku Aus dan Khazraj—memiliki sikap ramah. Kedua, penduduk Madinah
memiliki pengalaman berperang. Suku Aus dan suku Khazraj, ditambah komunitas
Yahudi Madinah, 'tidak pernah akur'. pengalaman berperang ini menjadi sesuatu
yang penting untuk menjaga ajaran agama Islam. Ketiga, Nabi Muhammad memiliki
hubungan darah dengan penduduk Madinah, yaitu Bani Najjar. Keempat, Keempat,
letak Madinah yang strategis. Sebelah timur dan barat Madinah merupakan sebuah
wilayah yang terjal; terdiri dari dataran tinggi, dataran rendah yang penuh
dengan bebatuan yang keras. Hanya dari sisi utara Madinah yang menjadi wilayah
terbuka.
Hal ini menyulitkan
siapa pun—terutama musuh—untuk memasuki kota Madinah. Demikianlah
biografi Nabi Muhammad yang menjelaskan tentang pernikahan Nabi
Muhammad dengan Sayyidah Khadijah hingga Hijrah ke Madinah.