• logo nu online
Home Warta Berita Aktual Kabar Nahdliyin Khutbah Badan Otonom Bahtsul Masail Pesantren Ulama NU Opini
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

Opini

Memutus Mata Rantai Buwuh

Memutus Mata Rantai Buwuh
Salah satu tradisi masyarakat Banyuwangi dalam rangka menyambut bulan hijriah (syuro) yang dimulai berbarengan dengan sepulang jemaat haji dari tanah suci Mekkah.
Salah satu tradisi masyarakat Banyuwangi dalam rangka menyambut bulan hijriah (syuro) yang dimulai berbarengan dengan sepulang jemaat haji dari tanah suci Mekkah.

Labbaik allahumma labbaik. Dalam teriakan talbiyah yang bertalu-talu kerap kali tersimpan pilu. Akankah kekhawatiran itu menghampiri talbiyahmu?

Bulan Dzulhijjah akan segera berakhir, jamaah haji hampir waktunya kembali dari tanah suci. Semarak penyambutan di tanah air akan menjadi perayaan dengan segala kemeriahan tersendiri. Mulai pawai beramai-ramai, kendaraan yang dihias sedemikian rupa, hingga acara walimah mulai yang paling sederhana hingga termewah.

Naasnya, tidak jarang walimah yang diselenggarakan justru menjadi tali kekang yang menjerat shohibul hajat maupun hadirin undangan. Tidak terkecuali walimatul hajj. Mengapa? Orang Banyuwangi menyebutnya tradisi balen, di kota lain ada yang menyebutnya buwuh. Apakah di tempatmu ada tradisi serupa?

Tradisi balen atau buwuh merupakan tradisi turun menurun yang asal mulanya memiliki tujuan sangat baik sekali, saling tolong menolong. Jika membaca KBBI, buwuh diartikan sebagai sumbangan dari tamu kepada tuan rumah dalam bentuk uang atau bahan untuk melengkapi keperluan sebuah acara. Ingat, kata kuncinya adalah sumbangan.

Dikata sumbangan seharusnya tidak ada kewajiban untuk mengembalikan hasil buwuhan kepada penyumbang. Sumbangan sifatnya diberikan berdasarkan kerelaan atau keikhlasan   dengan niat memberi bantuan tanpa mengharap imbalan.

Namun demikian, ternyata tradisi buwuh ini berbelok arah. Praktiknya justru mirip arisan yang tidak beraturan jumlah dan waktunya. Bukan membuat hati lapang justru mendatangkan kepeningan tiada tara. Bagaimana tidak? Ketika ada seseorang yang tidak mengembalikan hasil buwuh pada saat si pemberi mengadakan hajat ia sudah pasti jadi bahan ghibah bahkan dihujat berjamaah.

Ya, buwuh masa kini sangat jauh dari maksud tolong-menolong. Shohibul hajat tidak merasa terlalu gembira ketika hasil buwuhan yang didapatkan dalam jumlah banyak. Merasa berat karena masih memikul beban untuk mengembalikan itu semua yang bisa saja belum selesai hingga dua atua tiga tahun ke depan.
Hadirin undangan juga berat hati ketika menyerahkan buwuhannya. Padahal itu adalah uang atau bahan pokok terakhir yang dimiliki keluarganya. Akan tetapi, jika dirinya menghadiri undangan dengan tangan kosong niscaya akan dicemooh. Andai memilih tidak hadirpun pasti akan dicibir. Lembar uang lima puluh ribu rupiah di dalam amplop yang dia masukkan kotak hanya ditukar sepiring suguhan di tempat walimah, sedangkan keluarganya di rumah masih menunggu nafkah. Lebih miris lagi, ternyata buwuh yang mereka serahkan adalah hasil pinjaman.

Banyak sekali jenis walimah yang menjadi momentum buwuh. Mulai walimatul ‘ursy, walimatun khitan, walimatul hajj, walimatul aqiqah, dan masih banyak lainnya. Di antara semua walimah tersebut, walimatul hajj yang paling sering membuat shohibul hajat geleng-geleng kepala. Berbeda dengan walimah lainnya yang lumrah dilaksanakan satu atau dua hari saja, walimatul hajj bisa berlangsung selama tujuh hari atau lebih.

Bukan hanya suguhan makan di tempat walimah, jenis oleh-oleh juga menjadi beban mental tersendiri. Dibanding-bandingkan antara satu dan lainnya. Hal ini tidak jarang membuat beberapa keluarga memaksakan diri di luar kemampuannya demi menghindari jadi bahan ghibah. Siklus seperti ini sungguh meresahkan jika terus dilestarikan. Akan tetapi, memutusnya juga tidak memungkinkan tanpa adanya kesadaran bersama.

Beberapa bulan yang lalu, KH. Afifuddin Muhajir Sukorejo menulis pada liminasi media sosialnya bahwa mengadakan selametan (walimah) dengan menggunakan uang pinjaman tidak baik hukumnya. Sayang sekali, tulisan itu hanya berhenti pada tanda kutip kurang baik. Tidak ada ketegasan larangan untuk menyelenggarakan walimah yang memberatkan.

Banyak literatur juga hanya fokus membahas tata cara menyelenggarakan walimah. Mengingatkan akan larangan membedakan hadirin berdasarkan status sosial. Namun, tidak banyak yang menyuarakan keresehan sebagai dampak dari tradisi buwuh.

Sambil lalu menunggu para ahli dan para alim memberikan ketegasan hukum terhadap perkara ini mari kita mulai dari diri sendiri. Sadari sedari awal bahwa uang buwuh yang diberikan dalam suatu walimah adalah bentuk sumbangan untuk membantu meringankan beban shohibul hajat. Jangan berharap untuk dikembalikan apalagi menjadikan hal tersebut materi gunjingan. 

Bagi shohibul hajat juga hendaknya menyesuaikan dengan kemampuan. Tidak perlu cemas akan cemoohan, cukup tutup telinga saja. Yang menjadi syarat wajib pergi haji ialah mampu memenuhi kebutuhan (standar biaya hidup dan perjalanan) secara lumrah, bukan ukuran walimah atau pesta. Jika saudara atau tetangga mampu mengadakan walimah dengan hewan sembelihan, sedangkan yang lain hanya mampu menghidangkan telur ayam sesungguhnya tidak ada beda di antara keduanya.

Stop bergunjing. Stop tulis- menulis buwuh. Stop minder-minderan dalam walimah. 

Penulis: Zea Mays


Editor:

Opini Terbaru